Month: June 2020

tlccc-seminary

Bantuan Sosial Pemerintah Kenya Di Masa Pandemi Covid-19

Bantuan Sosial Pemerintah Kenya Di Masa Pandemi Covid-19 – Negara-negara di benua Afrika saat ini tengah dihadapi dilema di tengah upaya pencegahan penularan virus corona. Dibandingkan negara di benua lain, Afrika terhitung terlambat terkena pandemi Covid-19.

Para pengamat memperingatkan bahwa pemerintah perlu mengambil tindakan konkret untuk mengatasi penularan virus corona tanpa harus mengorbankan warga miskin yang terancam kelaparan jika mengikuti imbauan pemerintah agar tetap tinggal di rumah. idn play

Sejumlah negara seperti Afrika Selatan, Liberia, Zimbabwe, Mesir, Madagaskar, Ghana, dan Nigeria memutuskan untuk menutup wilayah (lockdown) kendati harus mengalami sebuah dilema. Mauritius, Rwanda dan Tunisia adalah yang pertama memberlakukan lockdown nasional.

Sejumlah negara di benua Afrika hingga kini memilih cara lain untuk membatasi ruang gerak warganya. Nigeria misalnya, menutup ibu kota Abuja dan Lagos yang merupakan kota terbesar di benua Afrika. Kedua kota itu memiliki jutaan orang yang menghuni daerah kumuh perkotaan.

Bantuan Sosial Pemerintah Kenya Di Masa Pandemi Covid-19

Alih-alih menerapkan lockdown, sebagian lain memilih solusi berbeda untuk mencegah penularan virus corona. Senegal, Mauritania, Guinea, Mali, Pantai Gading, Burkina Faso dan Niger memberlakukan jam malam untuk menghindari kerumunan warga. americandreamdrivein.com

Ethiopia mengambil langkah strategis dengan menutup perbatasan dan sekolah serta melarang lebih dari 100 juta warganya melakukan pertemuan dalam skala besar. Kendati demikian, belum ada aturan pembatasan pergerakan warga.

“Kami tidak dapat memaksakan lockdown seperti negara-negara maju, karena ada banyak warga yang tidak memiliki rumah. Bahkan mereka yang memiliki rumah harus memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed.

Kenya dan Benin telah menutup kota-kota utama mereka untuk mencegah pergerakan masuk dan keluar. Menariknya, ada sebagian lain yang memilih untuk tidak memaksa warganya untuk tinggal di rumah.

Burundi seakan acuh dengan membiarkan sebagian besar aktivitas tetap berjalan seperti biasa. Pemerintah Tanzania bahkan terkesan meremehkan pandemi corona yang telah menyebar ke lebih dari 200 negara tersebut.

“Virus corona seharusnya tidak menjadi alasan untuk menghancurkan ekonomi kita sama sekali,” kata Presiden Tanzania John Magufuli.

Pada Jumat (10/4) lalu, perempuan dan anak-anak di daerah kumuh Nairobi, Kenya terinjak-injak, jatuh, hingga berlumuran saat berebut makanan gratis yang dibagikan pemerintah.

Untuk membubarkan kerumunan masyarakat, polisi bahkan sempat menembakkan gas air mata. Beberapa pria bahkan sempat terlibat saling pukul karena kelaparan.

Kenya sejauh ini melaporkan 225 kasus dengan 10 kematian. Sejauh ini pemerintah juga telah menutup ibu kota Nairobi, memberlakukan jam malam, dan menerapkan jaga jarak sosial demi meminimalisir penyebaran virus.

Aturan tersebut ternyata berdampak besar lantaran tidak sedikit warga yang kehilangan mata pencaharian. Padahal mereka juga tetap harus bertahan hidup.

Anggota sebuah gerakan akar rumput yang mengurusi pemukiman informal Shining Hope for Communities (SHODCO) Kennedy Odede memperkirakan kejadian menyedihkan seperti itu akan terus muncul apabila pemerintah tidak mengurusi jutaan masyarakat miskin di Kenya.

Bantuan Sosial Pemerintah Kenya Di Masa Pandemi Covid-19

“Saya memberi mereka (pemerintah) satu hingga dua minggu sebelum keadaan menjadi lebih buruk. Tidak dalam hal virus corona, tetapi dalam hal kelaparan. Jika terus seperti ini, kita mungkin bermain dengan api,” ucap Odede.

Odede menyebut Presiden Uhuru Kenyatta telah menggunakan ancaman lockdown penuh untuk membuat warga negara mematuhi aturan. Para pejabat pun sepakat jika aturan agar warga tinggal di rumah karena sekitar 60 persen penduduk Nairobi berada di area kumuh.

“Mengunci orang di daerah kumuh akan menjadi pilihan terakhir. Banyak yang perlu dilakukan sebelum itu,” kata seorang pejabat tinggi keamanan yang enggan disebutkan identitasnya.

Sulit terapkan lockdown

Peneliti Institute for Security Studies (ISS) Jakkie Cilliers menganggap lockdown sulit diterapkan di negara-negara di benua Afrika. Hal itu lantaran masih banyak warga miskin yang kemungkinan akan menderita karena kelaparan akibat larangan beraktivitas di luar ruangan.

“Lockdown tidak dapat dilaksanakan dan tidak berkelanjutan di banyak wilayah Afrika. Anda mencoba melakukan sesuatu yang tidak mungkin dan Anda mengutuk orang untuk memilih antara kelaparan atau sakit,” ujar Cilliers.

Menurutnya, kerusuhan di negara-negara benua Afrika merupakan reaksi yang tak terhindarkan, karena virus cepat atau lambat akan menghampiri benua tersebut. Dengan demikian, pemerintah diminta untuk membuat solusi unik lainnya dalam mencegah penyebaran virus selain pembatasan.

“Tidak mungkin bagi 10 orang miskin yang tinggal di gubuk dan diminta tidak keluar selama tiga minggu,” ujarnya

Para ahli sepakat bahwa tingkat pembatasan yang berbeda di setiap wilayah mungkin dapat bekerja bagi Afrika. Namun, diperlukan dukungan negara yang signifikan dari seluruh pihak, terutama pemerintah.

Kenya telah melakukan kebijakan penurunan pajak dan mengirimkan air gratis ke permukiman kumuh, semenrata pemerintah Senegal membayar tagihan listrik dan Presiden Uganda Yoweri Museveni telah mendesak tuan tanah untuk membebaskan uang sewa hingga pandemi berakhir.

Namun, Pengamat Politik Rachel Strohm mengatakan langkah-langkah seperti itu hanya akan menguntungkan orang di sektor formal. Strohm menyebut pemerintah kerap mendistribusikan makanan di Lagos, Uganda, Rwanda, Afrika Selatan, dan tempat lain. Seringkali bantuan hanya diterima oleh sebagian kecil warga yang membutuhkan.

Dia berargumen bahwa banyak tindakan yang diambil secara tidak efektif dan tidak produktif, seperti penerapan jam malam dan pengurangan jam operasional transportasi umum. Menurutnya hal itu dapat menciptakan kerumunan yang lebih besar ketika warga bergegas pulang tepat waktu, dan dengan demikian meningkatkan risiko infeksi.

Dibandingkan pembagian bahan pokok, Strohm dan Odede mendukung gagasan bantuan uang langsung ke warga miskin, terutama untuk menghindari ketidaksetaraan dan kekacauan distribusi makanan.

Di sisi lain, Cilliers berpendapat pemerintah Afrika sepatutnya lebih fokus terhadap ancaman penyebaran virus lebih luas dan keberlangsungan ekonomi masyarakat, ketimbang mementingkan langkah teknis seperti pembagian makanan dan minuman.

“Pemerintah perlu mencoba cara agar mendapatkan aktivitas ekonomi maksimum agar orang dapat bertahan hidup, tetapi cobalah untuk menjaga peluang-peluang infeksi dapat menyebar,” ungkapnya.

Solusi lain untuk menghindari penutupan total dan keruntuhan ekonomi adalah pengujian massal. Afrika Selatan sejauh ini menjadi satu-satunya negara yang menempuh pendekatan tersebut.

Namun, Menteri Kesehatan Afrika Selatan Zweli Mkhize menyebut pihaknya kesulitan dalam meningkatkan dan memperluas pengujian.

“Hanya sekitar 70 ribu tes telah dilakukan sejauh ini, tingkat yang masih terlalu rendah,” ungkap Mkhize.

Akan tetapi bantuan ini belum sampai ke tangan Kitsao, yang menjanda sejak tahun lalu ketika suaminya dibunuh oleh sekelompok geng.

Tetangganya juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah dan Palang Merah Kenya, yang ikut datang untuk membantu Kitsao.

Lebih banyak rumah tangga di lingkungan kota pesisir itu kini juga akan mendapat bantuan pangan, kata pihak berwenang.

Seperti banyak warga Kenya berpenghasilan rendah lainnya, Kitsao kesulitan mendapatkan penghasilan selama sebulan terakhir, sejak pemerintah memberlakukan aturan-aturan guna membatasi penyebaran virus corona.

Aturan-aturan itu di antaranya termasuk larangan bepergian ke dalam dan ke luar kota-kota besar, lapor wartawan BBC Basillioh Mutahi dari ibu kota Nairobi.

Kisah tragis Kitsao bertepatan dengan kabar Kementerian Kesehatan Kenya yang menghabiskan banyak uang hasil sumbangan Bank Dunia untuk menanggapi pandemi, untuk para stafnya.

Uang itu dipakai untuk membelanjakan teh, makanan ringan, dan biaya telepon seluler.

Rincian tentang berapa banyak staf yang disediakan bantuan itu tidak jelas, tetapi kadung memantik kemarahan di media sosial bahwa pemerintah telah membelanjakan dana itu saat warga Kenya terus menderita.

Negara di Afrika Timur ini hingga Jumat (1/5/2020) siang WIB telah mencatatkan 396 kasus Covid-19 dengan 17 korban meninggal dan 144 pasien sembuh, menurut data dari Worldometers.

Read More
tlccc-seminary

Poligami Berdampak Kemiskinan Ibu Rumah Tangga Di Kenya

Poligami Berdampak Kemiskinan Ibu Rumah Tangga Di Kenya – Joyce, seorang perempuan Kenya, ingat betul kejadian saat ia berusia 38 tahun. Kala itu suaminya pulang ke rumah dengan menggandeng seorang perempuan yang diakuinya sebagai istri. Joyce sangat terkejut sekaligus terpukul. Tidak pernah suaminya sedikitpun membicarakan perihal rencana pernikahan kedua itu sebelumnya.

Sejak itu, hari-hari Joyce bersama enam anaknya kian suram. Ia harus rela satu atap dengan istri muda dan merasakan perlakuan yang berbeda. idnplay

“Segalanya berubah setelah dia (istri muda) pindah. Dia (suami) berhenti peduli. Biaya sekolah, pakaian dan mainan berhenti. Keluarga barunya dirawat dengan baik, tetapi anak-anak saya bahkan tidak bisa tamat sekolah menengah,” keluh Joyce yang menikah sejak usia 17 tahun itu.

Joyce cuma bisa pasrah lantaran sebagai ibu rumah tangga, ia hanya mengandalkan uang pemberian suami. “Aku benar-benar bergantung padanya (suami). Tidak ada pilihan selain diam dan tutup mulut,” ujar Jocye yang menceritakan kisahnya itu kepada Reuters, Agustus 2018, dua dekade setelah peristiwa pahit itu.

Poligami Berdampak Kemiskinan Ibu Rumah Tangga Di Kenya

Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik memaksa Joyce menikahkan putrinya meski belum genap berumur 18 tahun. Sedangkan anak laki-laki setelah putus sekolah lanjut bekerja sebagai buruh tani untuk membantu perekonomian keluarga. https://americandreamdrivein.com/

Joyce tak sendiri. Di Uganda, Irene Atenyo seorang istri pertama sedang gusar khawatir ditinggal suaminya yang diduga sedang mengencani calon istri ketiga. Saat Atenyo menyinggung perihal masalah ekonomi, ia justru mendapat kekerasan fisik dari suaminya.

“Saat ini aku ingin menyimpan uang untuk keamanan, jaga-jaga kalau dia (suami) datang dengan istri lain.” ujar Atenyo (27) kepada Associated Press. Calon istri ketiga saat dihubungi Atenyo pernah bilang bahwa dirinya sedang butuh uang. Sedangkan istri kedua pergi meninggalkan suami Atenyo.

Joyce dan Atenyo hanyalah segelintir dari banyaknya perempuan yang mengalami kasus serupa di Afrika. Poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan dini, eksploitasi pekerja anak, krisis ekonomi menjadi masalah sosial akut di Afrika.

Poligami adalah praktik yang umum ditemui di benua Afrika, khususnya wilayah sub-Sahara yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2009 mencatat, ada 33 negara di seluruh dunia yang melegalkan poligami maupun yang menerimanya di bawah hukum-hukum tertentu. Dari 33 negara itu, 25 di antaranya ada di Afrika.

Mantan Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma punya empat istri karena aturan adat. Kakek buyut hingga ayah mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang asal Kenya berpoligami mengikuti tradisi setempat. Di Tanzania, Presiden John Magufuli secara aktif mendorong para pria agar berpoligami, mengambil minimal dua istri dengan dalih mengurangi populasi wanita lajang dan prostitusi. Di Sudan Selatan, laki-laki biasanya menikah seiring dengan meningkatnya kekayaan mereka. Diperkirakan 40 persen pernikahan di negeri yang sedang dilanda perang saudara itu adalah poligami.

Akar tradisi poligami di Afrika kerap dihubungkan dengan kebutuhan memiliki banyak anggota keluarga untuk mengolah lahan, peperangan yang membutuhkan banyak laki-laki, serta meningkatkan derajat status sosial ketika punya banyak istri.

Fenomena poligami di Afrika berkelindan dengan kemiskinan. Sensus Kenya terbaru menyebut, hampir 1,5 juta warga Kenya berada dalam status pernikahan poligami. Biro Statistik Nasional Kenya mencatat, hampir 43 persen rumah tangga yang poligami berada dalam kemiskinan dibanding dengan 27 persen keluarga monogami.

Teresa Omondi-Adeitan, Direktur Eksekutif Federasi Pengacara Wanita di Kenya mengatakan, banyak dari wanita Kenya yang tak sadar sedang menikah dengan pria beristri dan sangat rentan ditinggalkan oleh sang suami yang mencari istri baru. Dalam kasus lain, para pria yang pendapatannya tidak bertambah, harus membagi pendapatan untuk anak dan para istrinya.

“Poligami adalah penyumbang kemiskinan terbesar karena kebanyakan pria tak mampu secara finansial untuk menafkahi. Dan wanita serta anak-anak yang paling menderita,” kata Adeitan. “Kadang-kadang mereka diusir setelah istri baru tiba.”

Kondisi seperti itu menjadi sebuah lingkaran setan. Anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi ekonomi sulit, cenderung mudah terserang penyakit, atau mengalami malnutrisi. Tak jarang pula mereka berhenti sekolah dan terpaksa bekerja di usia dini. Sedangkan sang ibu rentan mendapat kekerasan fisik dan terlibat perselisihan dengan sesama istri.

Poligami Berdampak Kemiskinan Ibu Rumah Tangga Di Kenya

Perilaku ini membuat ribuan kaum perempuan dan anak-anak menjadi miskin dan rentan menjadi korban eksploitasi.

Sensus Penduduk dan Perumahan Kenya paling baru menyebutkan hampir 1,5 juta warga Kenya atau 10 persen dari pasangan menikah, melakukan poligami.

Tetapi kelompok-kelompok pegiat perempuat mengatakan angka ini jauh dari angka sebenarnya karena praktek poligami merupakan bagian dari tradisi dan tidak didaftarkan. Lebih buruknya lagi, banyak kaum perempuan tidak menyadari bahwa mereka dipoligami karena suami mereka membentuk keluarga baru di tempat lain tanpa memberi tahu isteri sebelumnya.

“Poligami adalah faktor penyebab utama kemiskinan kaum pria yang sebenarnya tidak mampu melakukan pernikahan dengan lebih dari satu isteri. Dan kaum perempuan dan anak-anak yang paling menderita,” kata Teresa Omondi-Adeitan, direktur eksekutif dari Federasi Pengacara Perempuan Kenya.

“Kadang-kadang mereka diusir dari rumah ketika isteri baru tiba dan ketegangan pun muncul. Di sejumlah kasus, suami harus berbagi pendapatan yang kecil dengan seluruh isterinya. Akhirnya uang, makanan dan kebutuhan lain bagi masing-masing menjadi lebih sedikit.”

Konvensi PBB tentang Pengentasan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan menyebutkan bahwa poligami seharusnya tidak dianjurkan dan dilarang karena tidak ada kesetaraan dalam perkawinan semacam itu dan memiliki dampak emosi dan keuangan yang negatif terhadap perempuan dan anak-anak.

Namun perilaku kaum pria memiliki isteri lebih satu sudah terjadi selama berabad-abad, dengan mengatakan mereka memerlukan keluarga besar untuk membantu pekerjaan pertanian dan memastikan keturunan jika anak mereka meninggal atau isteri sebelumnya mandul.

Faktor tradisi juga memainkan peran penting karena ada pandangan bahwa keluarga besar merupakan kebanggaan, lambang kemakmuran dan status sosial tinggi dan melindungi kaum perempuan di masyarakat yang melarang mereka memiliki sumber daya seperti tanah.

Meski modernitas berkembang pesat dan kesadaran akan hak kaum perempuan yang semakin meluas, poligami tetap legal di sebagian besar negara-negara Afrika. Praktek ini pun terjadi luas di segala lapisan masyarakat mulai dari petani hingga politisi senior seperti mantan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma yang memiliki enam isteri.

Untuk memastikan praktek poligami bisa berjalan sukses, kaum isteri harus percaya dengan praktek ini dan suami harus memiliki penghasilan cukup untuk semua anggota keluarganya.

Namun, ini tidak terjadi di kebanyakan perkawinan poligami. Sementara para pegiat mengatakan kaum perempuan dan anak-anak dalam perkawinan poligami memerlukan perlindungan lebih baik ketika keluarga itu berantakan, sebagian besar menentang larangan praktek yang berakar pada budaya ini.

Mereka meminta pemerintah untuk menerapkan aturan yang mewajibkan pendaftaran perkawinan poligami agar kaum perempuan bisa memiliki bukti resmi atas perkawinan itu sehingga memudahkan mereka menuntut biaya perawatan anak atau mengklaim aset dan properti suami mereka.

“Kriminalisasi tidak selalu menjadi jawaban,” ujar Judy Gitau, pengacara hak perempuan dari Yayasan Equality Now.

“Jika aturan ini diterapkan dan kaum perempuan mendapatkan haknya, situasi akan berubah dengan perlahan dan kesadaran sosial yang lebih besar pada akhirnya akan membuat praktek poligami hilang.

Read More